Micro Manage? Seperti Dikejar Hutang

By Ratna - June 14, 2024

 Assalamu'alaikum Wr. Wb.


Sekedar informasi, gue adalah manusia yang nggak betahan dan suka banget pindah-pindah kantor setiap setaun sekali. Sebenrnya, engga juga, sih. Beberapa kali gue pindah kantor karena diPHK wkwk. Tapi, intinya, sebenernya gue juga pengen keluar dari kantor tersebut, cuman kebetulan aja didrop out jadi sekalian gitu wkwk.

Nah, di salah satu kantor tempat gue bekerja dulu, gue memiliki seorang boss yang sangat baik namun menyebalkan. Aneh, ya? Kontradiktif banget gitu. Tapi beneran, deh. Boss gue ini baik banget karena kalau gue ngga tau, dia akan menjelaskan sampai gue ngerti--yang mana gue ini gaptek, apalagi masalah rumus excel--dan boss gue ini beneran sesabar itu gaes. Bahkan, doi sampe rela-relain share screen buat nunjukin caranya ke gue langsung (karena boss gue itu orang luar negeri, jadi kita nggak pernah ketemu langsung seumur-umur gue kerja sama dia). Gue sangat terharu dengan itu.

Apalagi cara ngomongnya sangat lembut, suaranya bagus, dan kadang dia sempet ngetawain gue, kampret memang wkwk. Tapi, dia tetap sabar dan telaten buat ngasihtau dan ngajarin gue tentang banyak hal yang gue ngga tau--yang mana itu banyak banget.

Namun, nih, yaa. Namanya manusia ngga ada yang sempurna. Meskipun dia baik, suaranya lembut... hal tersebut tidak membuat gue jatuh hati terhadapnya. Bahkan, setiap hari gue kerja, gue dilanda kecemasan berlebih dan selalu berpikir "mampus, nih, gue, hari ini bakal ditanyain apa ya?", hingga membuat gue sangat tidak bersemangat untuk kerja.

Kenapa?

Karena boss gue ini micro manage.

Kalian tau nggak sih, micro manage itu apa? Gue juga baru tau akhir-akhir ini, sih. Kalau mengutip dari Glints, micro manage itu adalah salah satu gaya kepimpinan yang mana atasan bener-bener mengawasi kerja dari bawahannya. Dalam kasus gue, ya, si boss gue itu.

Gue baru ngerasain yang namanya micro manage adalah saat gue bekerja di bawah kepemimpinan dia. Jadi boss gue itu akan menanyakan "kalian akan mengerjakan apa hari ini?" itu setiap gue (dan rekan kantor gue yang lain) awal bekerja. Waktu itu, gue punya rekan yang satu shift (pagi), sehingga pada pagi hari, si boss gue itu akan melakukan meeting untuk menanyakan apa yang akan gue dan rekan gue itu kerjakan untuk hari itu--meskipun kita beneran belon ngapa-ngapain. Buset. Baru sejam masuk kantor, kentut aja belon, udah ditanyain mau ngerjain apa.

Hal tersebut dilakukan secara online--waktu itu pakai aplikasi namanya slack--dan harus share screen. Meeting berlangsung kurang lebih 30 menit, atau lebih, tergantung si boss gue ini moodnya lagi bagus atau engga. Kalau bagus, ya, akan cepat berakhir, tapi kalau lagi bete, yaudah good-bye, kimi no unmei no hito wa boku ja nai~ #Eh. Engga, maksud gue, kalau dia lagi bete, yaudah, kena semprot lah kami berdua. Nggak tau salah apa. Pokoknya kena semprot aja. Udah.

Setelah selesai meeting, kami akan bekerja. Baru juga tarik data dan beberes data, beberapa jam kemudian, si boss gue akan nanya lagi "lagi ngerjain apa?" dan kalau kita, atau salah satu dari kita dirasa ngga kerja dengan betul (menurut pandangan dia), kita akan dipanggil buat meeting lagi. Dan responnya sama seperti meeting awal; tergantung mood si boss kayak gimana pada saat itu. Kacau banget, bro.

Ada teman kantor gue--bawahan dia juga--yang masuk pada shift siang. Sama seperti kita yang shift pagi, dua orang itu akan meeting awal dulu untuk ditanya mau ngerjain apa hari itu. Setelahnya, meeting kedua akan dilakukan lagi untuk mereka, tapi kita yang shift pagi juga kebagian. 

Memang suara boss gue itu merdu banget dan cantik kedengerannya. Tapi bosen banget gue dipanggil meeting buat nanyain progress kerja mulu, yang bahkan belon gue kerjain karena sibuk meeting tanpa melakukan realisasi.

Ironis banget, nggak sih? Dia nanyain progress kerja dan berharap bawahannya bisa kerja dengan baik, sedangkan dia adalah penyebab kita ngga kerja-kerja karena selalu dipanggilin meeting tiap beberapa jam sekali--bahkan menit, tergantung mood dia.

Jadi, guys, setelah gue tanyakan kepada rekan kerja gue yang merupakan senior... ada alasan kenapa boss gue itu menjadi micro manage, alias sangat posesif, melebihi emak gue sendiri yang kalo gue belon balik pas maghrib, pasti ditanyain 'lagi di mana'.

Balik lagi ke topik, guys.

Konon pada jaman dahulu kala, dia memiliki bawahan yang kerjanya tidak becus (menurut dia), dan sering tidak terlihat bekerja (menurut dia), jadilah dia cemas dan ingin tahu apa yang dikerjakan oleh bawahannya agar dia bisa mendapatkan hasil yang baik untuk pekerjaannya. Konon juga, pada jaman tersebut, dia sangat tidak mentoleransi slow response, karena dia menganggap bahwa bawahan yang melakukan hal tersebut sama saja dengan tidak bekerja. Engga tau deh konsepnya gimana, ya, bund. Kalo gue lagi pup, masa musti bawa laptop?

Namun itu adalah cerita pada jaman dahulu kala. Senior gue itu bilang bahwa kelakuan boss gue sekarang sudah lebih baik dibandingkan pada jaman tersebut. Meskipun menurut gue, sikap boss gue yang posesif itu masih ngga normal, sih, dan berkat dia juga gue--yang pada dasarnya adalah manusia yang overthinking ini--jadi mendapatkan gangguan kecemasan yang sama dengan boss gue.

Dan akhirnya gue memutuskan untuk resign setelah masa probation gue berakhir. Sejujurnya, gue sempat sedih dan beneran nangis waktu boss gue nahan gue untuk resign, bahkan HRD gue juga bilang sebenarnya gue lolos probation (kartap) tanpa test, tapi, gimana ya, gue mempertimbangkan kesehatan mental gue... meskipun dia bukan alasan utama gue resign dari sana.

Jadi itulah pengalaman gue bekerja dengan boss yang micro manage. Lucu sebenernya kalau diinget lagi, cuman lebih bikin sakit mental, jadi gue bersyukur kerjaan sekarang boss nya ngga micro manage wkwk.

Bismillah semoga kita semua mendapatkan kerjaan yang lebih baik, ya, guys. Karena bawahan boss gue yang masih bekerja di sana pun juga ingin resign, meskipun sepertinya masih wacana.

Terimakasih sudah menyempatkan membaca curhatan kali ini.


Wassalamu'alaikum Wr. Wb

  • Share:

You Might Also Like

0 comments